Kamis, 18 Maret 2010

menghitung rentabilitas

Analisis rasio rentabilitas bank adalah alat untuk menganalisis atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Rasio rentabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE).
Faktor penilaian tingkat kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor yang ditetapkan oleh ketentuan Bank Indonesia atau yang biasa disebut CAMELS yang salah satunya dinilai menurut analisis faktor Rentabilitas. Faktor Rentabilitas ini adalah alat untuk menganalisis atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Selain itu dapat juga digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank. Banyak sekali rasio-rasio keuangan yang ada dalam CAMELS tersebut- salah satunya adalah ROA yang digunakan untuk mengukur Earnings Power atau rentabilitas sebuah bank.
Salah satu rasio rentabilitas adalah Return on Assets (ROA), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Semakin besar rasio ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan assets. Menurut perhitungan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Laba Sebelum Pajak
ROA = ——————— x 100%
Rata-rata Total Assets
Besarnya nilai untuk ”laba sebelum pajak” dapat dilihat pada perhitungan laba rugi yang disusun oleh bank yang bersangkutan, sedangkan “Total assets” dapat dilihat pada neraca. Nilai Return on Assets (ROA) tersebut dapat dijadikan kiteria dalam penetapan peringkat komponen Rentabilitas (Earnings), yaitu :
Peringkat I : Perolehan laba sangat tinggi
Peringkat II : Perolehan laba tinggi
Peringkat III : Perolehan laba cukup tinggi, atau rasio ROA berkisar antara 0,5% sampai dengan 1,25%.
Peringkat IV : Perolehan Laba Bank rendah atau cenderung mengalami kerugian (ROA mengarah negatif).
Peringkat V : Bank mengalami kerugian yang besar (ROA negatif)
1. Return on Assets (ROA)
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset. Rumus yang digunakan adalah:
ROA = Total Aktiva Laba Bersih

2. Return on Equity (ROE)
ROE adalah perbandingan antara laba bersih bank dengan modal sendiri. Rasio dapat dirumuskan sebagai berikut:
ROE = Modal Sendiri Laba Bersih
Rasio ini banyak diamati oleh para pemegang saham bank (baik pemegang saham pendiri maupun pemegang saham baru) serta para investor di pasar modal yang ingin membeli saham bank yang bersangkutan (jika bank tersebut telah go public). Dengan demikian rasio ROE merupakan indikator penting bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran deviden. Kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari bank yang bersangkutan.

Rasio Rentabilitas sendiri bertujuan untuk mengetahui kemampuan bank dalam menghasilkan laba selama periode tertentu, juga bertujuan untuk mengukur tingkat efektifitas manajemen dalam menjalankan operasional perusahaannya. Rentabilitas modal sendiri sangat penting bagi suatu perusahaan terutama bagi bank. Banyak bank yang tutup disebabkan rentabilitasnya rendah. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan berikut.
Pada masa awal krisis ekonomi di bulan Juni 1997 jumlah bank ada 220 buah dan pada akhir tahun 1998 jumlah tersebut berkurang menjadi 169 bank, karena 50 bank dilikuidasi oleh pemerintah dan satu Bank Pembangunan Daerah Timor-Timur ditutup. Di samping itu terdapat 12 bank yang di-take over (BTO) oleh pemerintah dan 7 bank yang direkapitulasi oleh pemerintah, sehingga persentase jumlah bank yang bermasalah mencapai 30% (Badan Penyehatan Perbankan Nasional, BPPN). Kondisi tersebut disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah melemah, yang pada akhirnya bank-bank Indonesia mengalami kesulitan likuiditas. Ditambah lagi besarnya kredit macet dalam mata uang lokal (rupiah) dan mata uang asing (valuta asing).

Identifikasi kebangkrutan dengan menggunakan model Altman (Z-Score)

Kebangkrutan dapat diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya untuk menghasilkan laba. Dari segi ekonomi, perusahaan dianggap gagal apabila mempunyai return yang negatif atau dengan kata lain tidak ada keseimbangan antara pendapatan dan biaya. Identifikasi kebangkrutan juga diartikan sebagai suatu keadaan atau situasi di mana perusahaan gagal atau tidak mampu membayar hutang pada waktu jatuh tempo meskipun aktiva total melebihi kewajiban.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kebangkrutan perusahaan berdasarkan model Altman (Z-Score) dan model Zavgren (Logit), serta untuk mengetahui perbedaan kebangkrutan perusahaan tekstil yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2005-2007 antara model Altman (Z-Score) dengan model Zavgren (Logit).

Populasi dalam penelitian ini adalah 9 perusahaan tekstil yang go-public di Bursa Efek Indonesia. Teknik sampling yang digunakan yaitu purposive sampling, adapun kriteria yang digunakan dalam penentuan sampel yaitu perusahaan tekstil tersebut secara kontinyu terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2005 sampai dengan 2007 dan setiap tahun telah mengeluarkan atau menerbitkan laporan keuangan secara kontinyu selama periode 2005 sampai dengan 2007. Terdapat 7 perusahaan yang masuk dalam kriteria sampel tersebut.

Penelitian ini untuk membedakan analisis Z-Score dan Zavgren dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan. Z-Score merupakan skor yang ditentukan dari hitungan sekian kali keuangan perusahaan yang akan menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Dari hasil Z-Score kemudian perusahaan dapat dikategorikan dalam keadaan sehat, rawan bangkrut dan bangkrut. Rasio yang digunakan terdiri dari rasio modal kerja / total aktiva (x1), laba ditahan / total aktiva (x2), EBIT (Earning Before Interest&Tax) / total aktiva (x3), nilai pasar modal saham / nilai buku hutang (x4), dan Penjualan / total aktiva (x5). Sedangkan Zavgren merupakan model prediksi kebangkrutan dengan analisis logit yang menghasilkan probabilitas kemungkinan kebangkrutan. Model ini tidak mempunyai titik cut off seperti pada model Altman, oleh karena itu ditentukan rentang interval sebagai pembatas dalam menentukan suatu kelompok angka lainnya yang dikategorikan perusahaan dalam keadaan sehat, rawan dan bangkrut. Rasio yang digunakan terdiri dari rasio INV (persediaan / penjualan), REC (piutang / persediaan), CASH (kas / total aktiva), QUICK (aktiva lancar / hutang lancar), ROI (laba operasi bersih / (total aktiva - hutang lancar)), DEBT (hutang jangka panjang / (total aktiva - hutang lancar)), TURN (penjualan / (modal kerja+aktiva tetap)). Analisis kebangkruan bermanfaat bagi pemilik perusahaan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan. Selain itu bermanfaat juga untuk calon investor agar berhati-hati dalam melakukan pengamatan sebelum menginvestasikan modalnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama tahun pengamatan sebagian perusahaan sampel diprediksi ke dalam kategori bangkrut untuk model Altman (Z-Score) serta sehat dan bangkrut untuk model Zavgren (Logit). Dapat dilihat dalam model Altman (Z-Score) terdapat empat perusahaan yang dikategorikan sebagai perusahaan yang bangkrut, perusahaan yang rawan ada tiga, sedangkan untuk kategori perusahaan yang sehat tidak ada. Menurut model Zavgren (Logit) terdapat tiga perusahaan yang dikategorikan sebagai perusahaan yang bangkrut, perusahaan yang rawan ada satu, sedangkan untuk kategori perusahaan sehat ada tiga. Dari hasil pengujian statistik independent sample t-test (uji dua fihak rata-rata) dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode Z-Score dengan Zavgren. Selain itu juga dapat dilihat dari banyaknya persamaan kedua model analisis tersebut yang memasukkan perhitungan rasio yang sama. Penilaian rasio perputaran modal kerja, laba perusahaan, total hutang dan penjualan disajikan dalam kedua model tersebut. Rasio-rasio tersebut cukup berpengaruh dalam memprediksi kesulitan keuangan perusahaan.
Dari hasil penelitian tersebut, penulis dapat menyarankan bagi perusahaan, bahwa perusahaan dapat segera meningkatkan kinerja perusahaannya untuk menghindari terjadinya kebangkrutan. Selain itu perusahaan sebaiknya juga lebih memperhatikan tingkat hutang dalam perusahaan, karena tingkat hutang merupakan rasio yang memiliki pengaruh yang besar terhadap prediksi kebangkrutan perusahaan. Manajer perlu menentukan tindakan yang tepat atas prediksi kebangkrutan perusahaan yang telah dianalisis, bagaimana keputusan yang secepatnya di ambil untuk memperbaiki kinerja keuangan yang mengalami rawan bangkrut atau bahkan bangkrut. Di antaranya seperti perpanjangan pinjaman, diversifikasi usaha, penjualan saham, penarikan piutang yang macet, mengurangi hutang dan persediaan.