Minggu, 23 Mei 2010
kejayaan bola diitalia
setelah wanita, barulah sepak bola. Lalu disusul budaya dan akhirnya politik. Itulah empat besar nilai-nilai kehidupan di Italia yang masih berlaku sampai sekarang.
Silvio Faure seorang diri berada di sebuah kafe yang sunyi. Dia tengah duduk bermalas-malasan. Sementara di televisi terlihat, Italia mengalahkan Kanada pada Olimpiade Musim Dingin 2006 di Torino, Mei silam. Ironisnya, tiada kegairahan.
Beberapa puluh meter dari tempat itu, di tempat yang bernama Roxy Bar, ratusan orang yang fanatik calcio mengerumuni pesawat televisi. Yang ditonton jelas siaran langsung Juventus melawan Internazionale, laga vital untuk menentukan scudetto Serie A 2005/2006. Muncul keriuhan luar biasa.
Di saat yang bersamaan, atlet ski es, Armin Zoeggeler, merebut medali emas pertama bagi Italia di Olimpiade Torino 2006. Namun esoknya, La Gazzetta dello Sport malah memasang judul dan foto kemenangan 2-1 Juventus. Berita Zoeggeler cuma secuil.
Bukan itu saja. Cerita kejayaan Juventus mendominasi harian olahraga bertiras besar tersebut. Berita Serie A menyita 23 halaman pertama Gazzetta, sedangkan berita-berita Olimpiade baru dimulai di halaman 30. Adalah fakta bahwa api Olimpiade pun tidak mampu melumerkan Serie A.
Di Italia, calcio adalah sebenar- benarnya hasrat. Sepak bola lebih dari sebuah olahraga kebangsaan dan kebanggaan. "Ia adalah hikayat nasional," kata pengamat sosial, Giuseppe Severgnini.
Ketika seorang jurnalis dari Amerika Serikat menyatakan kekecewaannya atas animo masyarakat Italia terhadap Olimpiade Torino, Severgnini menegaskan, "Ini bukan Amerika, Bung! Anda punya NBA, bisbol, dan American Football, tetapi di sini sepak bola tak punya rival sama sekali."
Kiprah Berlusconi
Bagi orang Italia, calcio menjadi struktur nasional yang memengaruhi kehidupan. Jika Anda adalah pemilik perusahaan atau pabrik, maka pada hari Senin bisa dipastikan Anda akan berbicara soal Serie A, bahkan kepada 500 pegawai Anda. Hanya dengan sepak bola, maka persatuan Italia yang pernah diimpikan Niccolo Di Bernardo Machiavelli (1469- 1527) dalam bukunya Discorsi benar-benar ada.
Menurut kolomnis sepak bola kesohor pada sebuah rubriknya di The Financial Times, Simon Kuper, titik nadir sepak bola Italia sekarang ini diawali oleh munculnya orang yang bernama Silvio Berlusconi pada 1986. Masa-masa keemasan Serie A sebagai liga terhebat di muka bumi tiba-tiba pudar begitu bos partai Forza Italia itu memimpin Italia kedua kalinya sejak 2001-2006.
Kuper mendeskripsikan apa yang disebut faktor la fuga dagli stadi alias para pelarian dari stadion sebagai sumber merosotnya sensasi Serie A di awal 1990-an. Efek yang langsung lahir adalah predictable results, hasil pertandingan yang sudah diatur, mafia, bentrokan antarpendukung, mahalnya harga karcis stadion, monopoli Berlusconi pada siaran langsung televisi, termasuk saluran bayar yang justru menyuburkan apriori masyarakat.
Berlusconissimo ada di mana- mana. "Di negeri ini," beber Kuper, "pendukung Berlusconi dan pembenci Berlusconi dipaksa menonton klub Berlusconi bertanding melawan klub yang disubsidi oleh pemerintahan Berlusconi di stadion yang harga tiketnya ditentukan Berlusconi dan di saluran bayar milik Berlusconi pada sebuah liga yang diatur oleh tangan kanan Berlusconi, Adriano Galliani, sebelum menonton cuplikan pertandingan di saluran gratis milik Berlusconi."
Makin lama orang hafal dengan sisi lain sepak bola Italia yang serba menakutkan bahkan ketika disaksikan di layar kaca: barisan polisi dengan helm dan pentungan, petasan, atau penghancuran bus kesebelasan atau kantor klub. Beberapa tahun belakangan ini terjadi pemusnahan sebuah tradisi hebat liga yang pada medio 80-an rata-rata penontonnya mencapai sekitar 40 ribu tiap pertandingan.
Pebisnis sepak bola di Inggris kian tersenyum lega saat membaca data musim 2005/2006 di mana rata-rata penonton Serie A tinggal 22.000, yang terkecil dibandingkan dengan Premiership, La Liga, dan Bundesliga.
Di dalam negeri sendiri, Liga Italia sudah seperti menjadi tertawaan banyak orang, khususnya di depan anak-anak. Pada sebuah studi diketahui bahwa ada korelasi meningkatnya penggemar Wrestling/TNA serta jumlah yang mengidolai Valentino Rossi dengan penurunan tajam penonton Serie A. "Nonton bola ke stadion kini sudah tak sakral lagi," aku Marco Testo, seorang pakar advertising di La Gazzetta dello Sport yang kena getah kehilangan sepertiga pembacanya sebelum perhelatan Piala Dunia 2006.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar